Zonakasus.com - Mataram,NTB - Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nusa Tenggara Barat (NTB) hangus terbakar pada saat aksi unjuk rasa yang berlangsung beberapa waktu lalu. Peristiwa ini mengejutkan publik karena hampir tidak ada aparat kepolisian yang berjaga secara resmi di lokasi kejadian, padahal gedung tersebut merupakan objek vital negara, terlebih di tengah situasi aksi massa yang telah diperkirakan berlangsung secara masif sebagai respon atas kebijakan pemerintah dan tragedi di Jakarta yang menewaskan seorang driver ojek online bernama Affan.
*Kronologi Peristiwa*
Kebakaran gedung DPRD NTB menjadi peristiwa pertama di Mataram di mana unjuk rasa berujung pada pembakaran langsung terhadap institusi Negara. Situasi tersebut menimbulkan dugaan adanya kelalaian dalam pengamanan, bahkan kesan pembiaran, sehingga memicu tragedi kebakaran yang menimbulkan kerugian besar bagi negara.
*Kritik HMI: “Di Mana Polda NTB?”*
Ketua Umum HMI MPO Mataram, Sudirman, menyampaikan kritik keras terhadap absennya aparat kepolisian. Menurutnya, dalam berbagai aksi demonstrasi sebelumnya, kepolisian selalu hadir dalam jumlah besar dan mampu mengurai massa meski berujung bentrokan. Namun, kali ini gedung DPRD NTB dapat dengan mudah digeruduk hingga dibakar massa.
“Dimana polisi saat itu? Apakah ini bentuk ketidakberdayaan, kelalaian, atau malah kesengajaan?” Ucap Sudirman Sabtu, 13/09/2025.
Analisis Tiga Kemungkinan
Dalam keterangan resminya, HMI Mataram menegaskan bahwa ada tiga kemungkinan yang patut didalami terkait lemahnya pengamanan oleh aparat:
* Ketidakberdayaan. Polisi benar-benar tidak mampu menghadapi jumlah massa. Jika demikian, berarti ada persoalan serius dalam strategi distribusi personel dan peralatan.
* Kelalaian. Aparat intelijen gagal membaca eskalasi situasi. Padahal, aksi massa biasanya sudah terpantau sejak awal melalui jaringan kampus maupun masyarakat sipil.
* Kesengajaan. Hipotesis ini dinilai paling berbahaya, yakni dugaan adanya pembiaran agar kemarahan publik mudah dialihkan kepada demonstran.
Apapun jawabannya, ketiganya dinilai sama-sama berbahaya. Karena itu, HMI menegaskan bahwa investigasi tidak cukup hanya menjerat pelaku pembakaran, tetapi juga harus mengusut potensi kelalaian institusi kepolisian.
*Seruan Akhir*
HMI menegaskan bahwa tragedi ini seharusnya menjadi momentum koreksi besar bagi kepolisian. Publik sering melihat watak represif aparat yang mudah membubarkan aksi damai, tetapi justru absen ketika benar-benar dibutuhkan.
“Paradoks semacam ini harus diakhiri. Kepolisian harus kembali menegaskan mandat dasarnya: melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat,” tambah Sudirman.
HMI juga menegaskan bahwa negara tidak boleh gagal dua kali: gagal mencegah tragedi, lalu gagal mempertanggungjawabkannya. Investigasi menyeluruh harus dilakukan, bukan hanya untuk mengungkap siapa provokator dan pembakar gedung, tetapi juga siapa yang membiarkan gedung itu terbakar. (ZK-07)